8. KOTA AIR BANGIS Air Bangis adalah sebuah kota kecil yang terletak dekat perbatasan daerah Tapanuli dengan daerah Sumatera Barat. Pada zaman dahulu diceritakan orang dari mulut ke mulut suatu peristiwa yang aneh, yang terjadi di dekat kota itu. Seorang raja pergi bertapa memohon agar dikurniai seorang anak laki-laki. Permohonannya itu terkabul. permaisuri melahirkan seorang putera yang amat cantik parasnya. Karena sukacitanya baginda mengadakan pesta siang malam guna memperlihatkan kepada rakyat rasa syukur baginda. Sesuai dengan kebesaran adat istiadat raja-raja, baginda mengundang ke istana ahli-ahli nujum yang termasyhur dari segala pelosok negeri. Mereka akan meramalkan hal ihwal putera raja yang baru lahir dikemudian hari. Setelah dibahas mereka ramalan-ramalan yang mungkin menimpa putera raja, maka menyembah ahli nujum yang tertua: "Daulat Tuanku Syah Alam, harap hamba yang hina dina ini diampuni. Menurut penglihatan hamba, putera Tuan ku ini kelak akan menjadi seorang pahlawan yang gagah perkasa. Budi lakunya baik, pemurah lagi penyayang. Tetapi malang sinar bintang kelahirannya menyatakan, bahwa putera tuanku ini akan menemui ajalnya oleh buaya, ular atau anjing." Mendengar sabda ahli nujum itu bukan main cemas hati baginda. Demi keselamatan puteranya segera diperintahkan baginda membangun sebuah istana baru. yang amat indah. Istana itu diperlengkapi dengan segala macam permainan yang digemari anak-anak serta diawasi oleh banyak inang pengasuh yang manis-manis. Penjagaan mahligai diperkuat dengan perajurit-perajurit yang tangkas di bawah pimpinan seorang hulubalang raja yang gagah perkasa. Tidak lupa pula baginda memerintahkan, agar membunuh segala buaya ular dan anjing yang dijumpai di negeri itu. Waktu beredar dengan cepatnya. Tidak berapa lamanya anak raja itupun besarlah. Pada suatu hari anak raja itu duduk-duduk bersama beberapa inang pengasuh di anjung peranginan istana. Ketika itu lalu di jalan raya seorang musafir yang diikuti oleh seekor anjing. Karena anak raja tersebut baru sekali itu melihat anjing, iapun bertanya: "Apakah gerangan yang berlari-lari di belakang orang itu?" "Itulah seekor anjing!" jawab salah seorang pengasuhnva. "Berilah aku seekor anjing. Aku ingin memeliharanya!" seru anak raja itu. Kehendaknya disampaikan orang kepada baginda. Sangat terkejut baginda mendengar keinginan anak baginda itu. Karena kasih akan puteranya, permintaan itu dikabulkan juga, walaupun baginda insyaf, bahwa anjing itu kelak akan membawa bencana. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, maka anak raja itupun dewasalah. Sekarang timbul keinginannya hendak melihat dunia luas. Terasa olehnya bahwa selama ini ia hidup seolah-olah terkungkung dalam sangkar. Mata lepas badan terkurung. Semakin hari semakin keras niatnya akan meninggalkan istana. Tidak putus-putusnya ia memikirkan kebebasannya. Dari percakapan rakyat tahulah, bahwa ia telah diramalkan akan mati disebabkan buaya, ular atau anjing. Namun demikian ia tidak gentar menghadapi hidupnya. Pada suatu hari, tanpa meminta izin dari ayahnya, ia berangkat dengan anjing kesayangannya menuju arah matahari terbit. Setelah melalui padang rumput, hutan belukar dan rimba raya sampailah ia ke sebuah negeri. Dalam negeri itu bertakhta seorang raja yang beranak seorang puteri yang amat cantik dan manis. Puteri baginda itu bersemayam dalam mahligai yang indah, dibangun sedemikian rupa, sehingga amat sulit bagi pemuda-pemuda hendak menjumpai puteri yang cantik itu. Istana itu tinggi benar bertingkat tujuhbelas dan berjendela tujuhbelas pula. Kecantikan tuan puteri termasyhur ke mana-mana dan tidak kurang banyaknya anak-anak raja meminang tuan puteri. Amat sulit bagi raja memilih siapa di antara mereka yang akan menjadi jodoh anak yang sangat dikasihinya itu. Pada suatu malam timbul pikiran sehat, yang dapat melepaskan baginda dari kesulitan itu. Baginda akan mengadakan perlombaan dalam ketangkasan memanjat. Barang siapa dapat memanjat ke tingkat yang teratas, yaitu tempat tuan puteri beradu, maka dialah yang berhak dinikahkan dengan tuan puteri. Sudah banyak anak-anak raja yang mencoba memanjat mahligai itu, akan tetapi sia-sia belaka. Tidak seorangpun yang mencapai tingkat yang tertinggi. Ketika anak raja itu dengan anjingnya berjalan-jalan di kota yang ramai itu, terdengar olehnya bahwa raja sedang mencari suami untuk puterinya. Mendengar berita itu tertarik pula hati anak raja hendak melihat puteri itu. Ingin ia hendak memperlihatkan ketangkasannya. Segeralah ia pergi kemahligai tuan puteri yang indah itu. Ketika tiba di situ lalu dipanjatnya ke tujuhbelas tingkat mahligai itu dengan mudahnya. Tampak kepadanya seorang puteri yang sangat cantik sedang melambai-lambaikan tangan kepadanya. Melihat wajah yang segar dan gelak senyum yang manis, iapun jatuh cinta kepada anak raja itu. Bagaikan kilat tersiar kabar ke seluruh pelosok negeri, bahwa seorang anak raja yang tidak dikenal telah berhasil memenangkan perlombaan memanjat, dan akan menjadi menantu raja. Mendengar peristiwa itu bukan main murka baginda. Baginda tidak setuju mengawinkan puterinya dengan seorang yang tidak dikenal asal usulnya. Raja menitahkan supaya segera mengumumkan, bahwa puterinya tidak diizinkan bersuamikan seorang petualang. Seorang menteri tua datang menyampaikan pendirian baginda kepada tuan puteri. Ketika tuan puteri mendengar sabda baginda., sangatlah ia bersusah hati. Ia cinta dan ingin bersuamikan anak raja itu. Sambil memegang tangan kekasihnya tuan puteri bersumpah di hadapan menteri akan membunuh diri, apabila ia tidak diperkenankan bersuamikan anak raja itu. Segera disampaikan sumpah tuan puteri itu kepada raja. Tidak terkirakan duka cita baginda mendengar kerelaan hati puterinya itu. Sebab yang dikehendaki baginda tidak lain hanyalah agar puterinya mendapat seorang suami yang dicintainya. Segera ke dua anak muda itu dipanggil baginda menghadap ke istana. Bukan kepalang terharu baginda melihat kedatangan ke dua pemuda itu. Dengan gembira baginda bersabda: "Hai anak muda, siapakah tuan ini? Dari manakah tuan datang? Ceritakanlah hal ikhwal tuan!" Anak muda itu menjawab: "Patik adalah anak seorang Maharaja di kerajaan Bahari. Patik hidup terasing karena takdir yang dijatuhkan para ahli nujum. Patik mengembara di alam luas ini, untuk mengadu untung. Akhirnya patik tiba di negeri yang permai ini." Mendengar cerita anak raja itu, hibalah hati baginda, lalu mengawinkan anak raja itu dengan puterinya. Dengan perhelatan yang luar biasa ramainya dilangsungkanlah pernikahan ke dua pengantin itu. Setelah sekian lama ke dua anak muda itu hidup rukun dan damai sebagai dua sejoli, berceritalah anak raja kepada isterinya, tentang tiga ramalan yang menimpa dirinya. Ketika mendengar cerita suaminya itu, tidak terkirakan sedih hati tuan puteri, lalu ia bermohon: "Mengapa tidak kakanda bunuh saja anjing yang kakanda bawa itu? Bukankah anjing itu dapat menyebabkan bencana nanti?" "Anjing ini aku sendiri yang memelihara dan membesarkannya. la sangat setia. la selalu mengikuti aku ke mana juga aku pergi. Anjingku telah menjadi teman karibku yang setia," demikian sahut anak raja itu. Permintaan tuan puteri tidak dikabulkan oleh anak raja itu sebab ia sangat sayang kepada anjingnya. Pada suatu hari anak raja itu bersama-sama isterinya hendak kembali ke negeri tanah tumpah darahnya. Diadakanlah persiapan seperlunya, lalu kedua suami isteri itu memohon diri meninggalkan ayahandanya. Dengan hati pilu baginda melepas kedua anakanda itu berangkat. Mereka melintasi padang, hutan dan rimba raya. Beberapa lama kemudian mereka sampai pada batas sebuah negeri. Raja negeri itu memelihara seekor ular besar yang menjaga kerajaan itu. Karena sangat lelah, tengah malam tertidurlah anak raja itu di bawah sebatang pohon kayu yang rindang. Ketika melihat suaminya tidur dengan nyenyaknya, berjaga-jagalah tuan puteri. Lagi pula ia tahu bahwa di negeri itu ada ular besar penjaga istana raja. Karena takutnya tak dapat tidur. la khawatir akan kebenaran ramalan cerita suaminya. Benar juga dugaannya itu. Sekonyong-konyong tengah malam menjalar seekor ular besar hendak menerkam suaminya. Dengan tangkas tuan puteri melompat. berdiri, lalu menghunus keris pusaka yang diterimanya turun-temurun. Terjadilah perkelahian yang hebat. Dengan gagahnya ular itu dapat ditikamnya hingga mati binasa di tanah. Oleh karena perjuangan yang dahsyat terbangunlah anak raja itu. "Apakah yang terjadi?" tanya anak raja sambil menyapu matanya. Isterinya hanya menunjuk bangkai ular yang bergulung-gulung di tanah. "Ini bahaya pertama yang menimpa kakanda. Mudah-mudahan bahaya selanjutnya dapat kita hindarkan pula dengan selamat." Setelah mengucapkan sukur dan terima kasih atas perlindungan yang maha kuasa, mereka melanjutkan perjalanannya. Tak lama kemudian sampailah mereka pada muara sebuah sungai besar. Tuan puteri merasa cemas melihat sungai yang sangat lebar itu. Terasa oleh tuan puteri seakan-akan sungai itu berkala: "Hai anak raja, kini tibalah ajalmu!" Mendengar bisikan itu takut tuan puteri bertambah-tambah. Akan tetapi suaminya berjalan dengan tenang, seolah-olah tidak ada apa-apa yang akan terjadi. Berkali-kali tuan puteri mengingatkan agar suaminya tetap waspada. Tuan puteri berkata: "Kalau dapat, bunuhlah anjing kakanda itu. Tidak- senang, hati adinda melihatnya. Apabila adinda melihat kesayangan kakanda itu, selalu terbayang pada adinda bahaya yang mengancam kakanda. Oleh sebab itu sekali lagi, bunuhlah anjing itu, demi keselamatan kakanda." Sungguhpun demikian anak raja itu tetap tidak menghiraukan permintaan isterinya. Tiba-tiba anjing itu menyalak dengan garangnya. Bulu lehernya ditegakkannya, ia bersiap hendak menerkam. Belum pernah ia berlaku seperti itu. Tampak olehnya seekor buaya berenang ke tepi sungai. Secepat kilat ia melompat ke dalam air, lalu diterkamnya buaya itu. Perkelahian terjadi dengan hebatnya. Terharu hati anak raja melihat pertarungan yang tidak seimbang itu. Dengan keris pusaka ia terjun ke sungai membela anjingnya. Ke-jadian itu berlangsung sedemikian cepatnya, sehingga tak ada kesempatan bagi tuan puteri akan menghalanginya. Apa hendak dilakukannya sekarang? Segera tuan puteri menghunus kerisnya, melompat ke dalam sungai berjuang membela suaminya. Ia telah bersumpah sehidup semati dengan kekasihnya. Perkelahian makin lama makin bertambah dahsyat. Air berputar-putar dan berbuih-buih dengan gemuruhnya. Sebentar bergolak, sudah itu berpusar-pusar, membuat pusaran air yang berbahaya. Bagaimana akhir perjuangan itu tidak seorangpun yang tahu. Entah siapa yang menang, wallahu alam. Tetapi hingga kini konon kabarnya pertarungan itu masih juga terjadi dengan serunya. Demikianlah agaknya maka air itu sampai sekarang masih juga bergolak dan berpusar-pusar dengan dahsyatnya. Oleh sebab itu pula maka orang di Minangkabau menamai tempat itu "Air Bangis" yang berarti "air bengis". ============================================ Ebook Cersil, Teenlit, Novel (www.zheraf.net) Gudang Ebook Ponsel http://www.ebookHP.com ============================================